top of page

RUMAHKU RUNTUH

Writer: fishflashnewsfishflashnews

Oleh: Galuh Naomy Syahrani Pambudi

Editor: Enkhena Auliya Maha Dewi



Tak terasa 5 tahun sudah berlalu semenjak perpisahan kedua orang tua ku. Tentu banyak hal yang telah ku lalui begitu saja, hingga aku beranjak dewasa. Tidak, maksudku aku yang dipaksakan untuk beranjak dewasa memahami ini semua. Tak jarang aku menangis, meratapi “Ah… Mengapa selelah ini, Tuhan?”. Namun aku hanyalah seorang anak kecil di mata papa dan mama. Seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa. Maka dari itu tiap rasa sakit, tiap luka, tiap goresan lara, aku simpan sendiri. Selama ini aku tak pernah mempertanyakan perihal kenapa, mengapa dan bagaimana kepada mereka. Aku hanya menyadari bahwa rumah ini tak akan sama lagi.


Aku adalah mahasiswa semester 1 di salah satu Universitas ternama di Kota tempat tinggalku. Beruntung aku masuk Universitas setelah aku lulus dari bangku SMA, setidaknya tidak membebankan papa dan mama. Sejak perpisahan kedua orang tuaku, aku tak pernah benar-benar memutuskan akan tinggal dengan siapa. Aku hanya sesekali bersama papa, atau sesekali bersama mama. Namun, tak jarang juga di tiap pertemuanku dengan mereka, mereka saling mengeluhkan perihal satu sama lain. Aku hanya berusaha memposisikan diriku seadanya sembari menahan sesak di dada. Banyak hal yang menyakitkan, namun aku menyadari bahwa mereka sedikitpun tak ingin mengetahui bagaimana perasaan anak gadisnya.


Menjadi mahasiswa, aku kira dengan menjadi mahasiswa aku dapat menyombongkan diri seperti “Hey, aku sudah dewasa”. Tertawa miris sekali dengan pemikiran dangkalku itu. Menjadi mahasiswa di tengah dua keluarga yang tak lagi bersama sangat berat bagiku. Mulai dari perekonomian yang di lempar sana-sini, amarah yang saling diluapkan, bahkan tak jarang mereka tidak peduli bagaimana aku tersiksa di tengah tugas dan masalah dari mereka.


“Ma, bulan depan sudah mulai bayar uang kuliah”, kataku sedikit lirih


“Minta papa dulu ya, mama kasih uang jajan aja”, jawab mama tanpa melihat ke arahku sama sekali. Aku hanya menganggukan kepala dan menahan tangis yang entah sudah berapa kali.


“Ah, seperti ini lagi”, batinku


Aku mencoba memahami bahwa perekonomian keluargaku mungkin sedang sulit, namun bertahan sebagai anak yang tak bisa menceritakan keluh kesahnya kepada orang tua pun lebih sulit. Sakitnya berkali lipat, lukanya menganga perih yang tak kunjung reda. Sekali lagi, anak gadisnya terluka.


Aku memutuskan untuk menelepon papa, berharap ada jawaban yang sedikit menenangkanku.


“Halo Pa? Papa lagi sibuk? Naura ganggu papa kah?”, tanyaku lewat telepon.


“Halo anak papa. Papa lagi gak sibuk, cuma beresin kerjaan aja. Ada apa Nak?”, tanyanya.


“Em… Pa, maaf bulan depan sudah bayar uang kuliah. Naura cuma mau nyampaiin itu”, jawabku sedikit takut


“Kemarin kan sudah papa, harusnya sekarang gantian mama. Mamamu tuh gimana sih?”, Jawab papa dengan suara emosi.


Selanjutnya aku hanya mendengarkan berbagai omongan yang sangat menyakitkan. Runtuh, pertahananku runtuh seketika. Aku menangis, menekuk lututku dan memeluknya. Menangis tanpa suara, takut mama mendengar tangisku. Dadaku seolah dihantam sesuatu yang menyakitkan, rasanya sesak dan sakit. Mataku sudah panas akibat air mata yang tak kunjung henti, badanku bergetar. Ini, sangat menyakitkan. Pikiranku ingin sekali menyerah, tapi jauh dilubuk hatiku aku sangat menyayangi papa dan mama. Aku tak pernah sekalipun menceritakan lukaku kepada siapapun sekalipun sahabat terdekatku. Ketakutan sudah menyelimutiku, pikiran takut ditinggalkan mulai berkeliling di kepalaku. Malam ini, sekali saja aku memutuskan untuk menyerah. Menyerah dengan keadaan, entah sampai kapan aku harus berada di tengah-tengah permasalahan yang tak ada jalan keluar.


Rumah mana yang membuatku nyaman? Haruskan aku berkelana hanya untuk mencari arti kata “Rumah”? Rumahku runtuh, rumahku telah hancur sejak 5 tahun yang lalu. Sudah tidak ada tempat pulang bagiku, bagi anak gadis yang menyimpan segala lukanya. Sudah hilang dan lenyap kehangatan yang pernah ia rasakan. Sekarang hanya dingin yang memeluknya, hanya sesak, dan hanya luka serta tetes air mata yang selalu ia sembunyikan.


Pa, Ma… Anakmu hilang arah.

Comentarios


Post: Blog2_Post

©2020 by Fish Flash News

bottom of page